.rbbox{-moz-box-shadow: inset 0 0 20px #f10c0c; -webkit-box-shadow: inset 0 0 20px #f10c0c; box-shadow: inset 0 0 20px #f10c0c; .rbbox:hover{background-color:#000000);}
Adsense Indonesia

Kamis, 25 April 2013

Menjadi Ibu Rumah Tangga itu Menyia-nyiakan Perjuangan RA.Kartini?



Ciyuusss? Miapa?
Apa salahnya memilih menjadi ibu rumah tangga?
Apakah RA.Kartini mengajarkan wanita Indonesia harus menjadi pekerja di luar rumah?
Pernah dengar Kartini muda memprotes itu pada ayahnya yang seorang ningrat?

Lucunya lagi beberapa pertanyaan yang muncul di sekeliling saya dimana mempertanyakan pilihan seorang wanita yang notabene bergelar sarjana untuk menjadi ibu rumah tangga, salahnya dimana? Mulai dari ibu-ibu pengajian, ibu-ibu komplek, sampai seorang teman sekolah yang notabene lelaki. Dalam hal ini saya tidak akan mengangkat bias gender pada proses mempertanyakan pilihan tersebut, hanya menggaris bawahi bahwa pertanyaan itu muncul baik dari sesama wanita maupun dari laki-laki. Semasa sekolah beberapa teman lelaki juga berpendapat bahwa enak jadi wanita karena tidak harus mencari pekerjaan dengan modal ijazah yang nantinya didapat karena bisa ‘ikut’ suami. Ada apa yach dengan masyarakat kita? Bahkan dari kalangan akademisi pun berpandangan demikian, bukankah harapannya dengan menjadi ‘berpendidikan’ bisa menghasilkan generasi yang  berwawasan luas dan tak terkungkung dengan cara pandang yang terkesan ‘tradisional’?

Tradisional’? Bukankah emansipasi merupakan salah satu tonggak modernisasi? Yach benar, saya tidak salah menggunakan istilah. Jaman bapak saya dulu, beliau bersekolah setinggi-tingginya agar mendapat penghidupan yang layak dengan menjadi pegawai negeri (jaman itu pekerjaan yang paling TOP adalah pegawai negeri ). Hehehe… saking TOPnya bahkan ada ibu yang mempersyaratkan calon menantunya berprofesi sebagai pegawai negeri. Bukannya ingin merendahkan pegawai negeri, karena saya juga anak mantan pegawai negeri, tapi coba dibayangkan berapa banyak posisi pegawai negeri dan berapa banyak sarjana beberapa tahun terakhir? Bisa dibayangkan kalau pola pikir kita hanya sekolah untuk jadi pegawai? Nah …. sekarang merupakan era baru dimana menjadi berpendidikan bukan hanya untuk menjadi pegawai, tapi jadi pengusaha yang menciptakan lowongan pekerjaan. Bahkan dimulai dari mana saja, ada yang dari garasi rumah (ingat cerita pencipta Facebook???), ada yang dari dapur, dan lain sebagainya. Terutama di jaman internet seperti sekarang, semuanya serba online dan serba komputerisasi.

Sudah berada di gelombang yang sama dengan saya? Hehehe … Ok kita kembali pada topic awal. Apakah yang sebenarnya diperjuangkan RA.Kartini? Lalu nilai apa yang bisa dipelajari dan diaplikasikan oleh anak bangsa ini? Kartini muda tergolong ‘vokal’ untuk kalangan ningrat yang terkenal dengan ketatnya aturan sopan santun dan adat. Dia memperjuangkan hak yang sama untuk memperoleh pendidikan antara lelaki dan wanita, dan dia menolak dipanggil dengan gelar kebangsawanannya. Secara tidak langsung beliau menginginkan persamaan derajat, antara dirinya dan ‘masyarakat jelata’ di masanya. Lalu apa yang bisa kita teladani dari sikap beliau?

Gigih dan semangat yang pantang menyerah, beliau terus memperjuangkan kesempatan belajar anak-anak wanita di lingkungannya.

Prinsip dan pemahamannya akan kodrat dan jati dirinya sebagai wanita. Berikut penggalan surat RA.Kartini:
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan
sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan
laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya
yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan
kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi
ibu, pendidik manusia yang pertama-tama" (Surat Kartini kepada Prof. Anton Dan
Nyonya, 4 Oktober 1902).
Sumber: http://aridhoa.blogspot.com/2009/04/andai-kartini-khatam-mengaji.html
Dari penggalan surat ini kita dapat melihat betapa pun besar perjuangannya untuk wanita agar mendapatkan pendidikan, ia pun sangat menyadari posisi dan kodrat penciptaannya sebagai wanita yang tak  dapat dipungkiri dan digantikan.

Kebesaran dan ketulusan hatinya juga dapat dengan jelas tergambar dari penggalan surat tersebut. Bukan untuk menjadi saingan!!! Wahai para lelaki, wanita diciptakan dari tulang rusukmu yang dekat dengan lengan agar dapat kau lindungi. Bukan dari tulang kepala untuk menjadi pemimpinmu, bukan pula dari tulang kakimu agar jadi bawahanmu. Tapi dari tulang rusukmu, agar jadi patner kehidupanmu. Subhanallah… betapa indah makna penciptaan wanita. Wahai wanita apakah kau memahami maksud perjuangan Kartini sebelum kau jauh melangkah meninggalkan rumah?

Lalu bagaimana kita harus memaknai emansipasi wanita?

Tuisan ini saya buat bukan untuk mengkritik wanita yang memutuskan untuk menjadi wanita karir, atau membenarkan wanita yang memilih berkarir dari rumah alias menjadi ibu rumah tangga atau berbisnis dari rumah. Tapi mari kita pahami bahwa wanita diciptakan oleh Allah SWT dengan fisik yang berbeda dengan lelaki, tak sekuat lelaki memang, dengan ‘jatah’ hati yang lebih besar dan seringkali menjadi alas an wanita yang lebih emosional bila dibandingkan lelaki. Tapi ini toh bukan tanpa maksud, agar saling melengkapi. Agar saling tolong-menolong, dan saling membutuhkan. Meski tak dapat dipungkiri kadang kala kita juga menemui wanita yang ‘perkasa’, fisiknya kuat sebanding dengan lelaki.

Kodrat wanita yang ‘dititipi’ rahim, maka wanita ditugasi untuk hamil dan juga menyusui anaknya. Tapi ini juga bukan berarti wanita hanya bisa di rumah saja. Ibu adalah sekolah yang pertama. Anak-anak mulai belajar sejak di dalam kandungan, oleh sebab itu ibu hamil tidak boleh berkata sembarangan, karena memang dapat didengar oleh jabang bayi di dalam kandungan. Rasanya jadi realistis manakala Kartini memperjuangkan pendidikan bagi wanita, karena dari ibu yang pandailah anak akan belajar lebih banyak pengetahuan. Maka para wanita di seluruh dunia harus berpendidikan, wanita harus cerdas J.

Emansipasi dapat dimaknai sebagai hak wanita untuk dapat membuat dan memiliki pilihan untuk menentukan nasib dan kehidupannya tanpa melupakan kodratnya sebagai wanita, dan tentu saja selama berada dalam koridor aturan agama serta norma adat yang berlaku.

Wanita ingin mengejar karir? Boleh, silahkan. Sejauh memang diijinkan oleh orang tua atau suami jika sudah menikah, atau jika memang beliau adalah tulang punggung keluarga atau kondisinya memang memaksa demikian. Wanita boleh berkarya.

Wanita memutuskan jadi ibu rumah tangga? Boleh, silahkan. Toh apa yang dilakukan itu untuk bisa mendidik anak-anak dan menjadi istri yang baik. Lagi pula jaman sekarang berbisnis dari rumah pun bisa dilakukan para ibu rumah tangga, meski butuh manajemen yang dasyat menurut pengalaman saya hehehe.

Jadi wahai wanita, apa pilihan anda hari ini? Apapun pilihan anda, pastikan anda tahu konsekuensi dari setiap pilihan tersebut, jangan sampai menyesal di akhir hari. Jangan jadi korban isu-isu emansipasi yang tak anda pahami sepenuhnya, atau jadi korban ‘kodrat’ yang anda yakini. Jadilah hebat dengan apapun pilihan anda, terus gali potensi anda. Karena dengan pilihan menjadi ibu rumah tangga bukan alasan anda tak ‘berkembang’. Teruslah bersinar wanita Indonesia…

Have a nice day…. 

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar