Ciyuusss? Miapa?
Apa salahnya memilih menjadi ibu rumah tangga?
Apakah RA.Kartini mengajarkan wanita Indonesia harus menjadi
pekerja di luar rumah?
Pernah dengar Kartini muda memprotes itu pada ayahnya yang
seorang ningrat?
Lucunya lagi beberapa pertanyaan yang muncul di sekeliling
saya dimana mempertanyakan pilihan seorang wanita yang notabene bergelar
sarjana untuk menjadi ibu rumah tangga, salahnya dimana? Mulai dari ibu-ibu
pengajian, ibu-ibu komplek, sampai seorang teman sekolah yang notabene
lelaki. Dalam hal ini saya tidak akan mengangkat bias gender pada proses
mempertanyakan pilihan tersebut, hanya menggaris bawahi bahwa pertanyaan itu
muncul baik dari sesama wanita maupun dari laki-laki. Semasa sekolah beberapa
teman lelaki juga berpendapat bahwa enak jadi wanita karena tidak harus mencari
pekerjaan dengan modal ijazah yang nantinya didapat karena bisa ‘ikut’ suami.
Ada apa yach dengan masyarakat kita? Bahkan dari kalangan akademisi pun berpandangan
demikian, bukankah harapannya dengan menjadi ‘berpendidikan’ bisa menghasilkan
generasi yang berwawasan luas dan tak
terkungkung dengan cara pandang yang terkesan ‘tradisional’?
‘Tradisional’? Bukankah emansipasi merupakan salah satu tonggak
modernisasi? Yach benar, saya tidak salah menggunakan istilah. Jaman bapak saya
dulu, beliau bersekolah setinggi-tingginya agar mendapat penghidupan yang layak
dengan menjadi pegawai negeri (jaman itu pekerjaan yang paling TOP adalah
pegawai negeri ). Hehehe… saking TOPnya bahkan ada ibu yang mempersyaratkan calon menantunya
berprofesi sebagai pegawai negeri. Bukannya ingin merendahkan pegawai negeri,
karena saya juga anak mantan pegawai negeri, tapi coba dibayangkan berapa
banyak posisi pegawai negeri dan berapa banyak sarjana beberapa tahun terakhir?
Bisa dibayangkan kalau pola pikir kita hanya sekolah untuk jadi pegawai? Nah ….
sekarang merupakan era baru dimana menjadi berpendidikan bukan hanya untuk
menjadi pegawai, tapi jadi pengusaha yang menciptakan lowongan pekerjaan.
Bahkan dimulai dari mana saja, ada yang dari garasi rumah (ingat cerita
pencipta Facebook???), ada yang dari dapur, dan lain sebagainya. Terutama di
jaman internet seperti sekarang, semuanya serba online dan serba komputerisasi.
Sudah berada di gelombang yang sama dengan saya? Hehehe … Ok
kita kembali pada topic awal. Apakah yang sebenarnya diperjuangkan RA.Kartini?
Lalu nilai apa yang bisa dipelajari dan diaplikasikan oleh anak bangsa ini?
Kartini muda tergolong ‘vokal’ untuk kalangan ningrat yang terkenal dengan
ketatnya aturan sopan santun dan adat. Dia memperjuangkan hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan antara lelaki dan wanita, dan dia menolak dipanggil
dengan gelar kebangsawanannya. Secara tidak langsung beliau menginginkan
persamaan derajat, antara dirinya dan ‘masyarakat jelata’ di masanya. Lalu apa
yang bisa kita teladani dari sikap beliau?
Gigih dan semangat
yang pantang menyerah, beliau terus memperjuangkan kesempatan belajar
anak-anak wanita di lingkungannya.
Prinsip dan
pemahamannya akan kodrat dan jati dirinya sebagai wanita. Berikut penggalan
surat RA.Kartini:
"Kami di sini memohon diusahakan
pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan
sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan
laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya
yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan
kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya:
menjadi
ibu, pendidik manusia yang pertama-tama" (Surat Kartini kepada Prof. Anton
Dan
Nyonya, 4 Oktober 1902).
Sumber:
http://aridhoa.blogspot.com/2009/04/andai-kartini-khatam-mengaji.html
Dari penggalan surat ini kita dapat melihat betapa pun besar
perjuangannya untuk wanita agar mendapatkan pendidikan, ia pun sangat menyadari
posisi dan kodrat penciptaannya sebagai wanita yang tak dapat dipungkiri dan digantikan.
Kebesaran dan
ketulusan hatinya juga dapat dengan jelas tergambar dari penggalan surat
tersebut. Bukan untuk menjadi saingan!!! Wahai para lelaki, wanita diciptakan
dari tulang rusukmu yang dekat dengan lengan agar dapat kau lindungi. Bukan
dari tulang kepala untuk menjadi pemimpinmu, bukan pula dari tulang kakimu agar
jadi bawahanmu. Tapi dari tulang rusukmu, agar jadi patner kehidupanmu.
Subhanallah… betapa indah makna penciptaan wanita. Wahai wanita apakah kau
memahami maksud perjuangan Kartini sebelum kau jauh melangkah meninggalkan
rumah?
Lalu bagaimana kita harus memaknai emansipasi wanita?
Tuisan ini saya buat bukan untuk mengkritik wanita yang
memutuskan untuk menjadi wanita karir, atau membenarkan wanita yang memilih
berkarir dari rumah alias menjadi ibu rumah tangga atau berbisnis dari rumah. Tapi
mari kita pahami bahwa wanita diciptakan oleh Allah SWT dengan fisik yang
berbeda dengan lelaki, tak sekuat lelaki memang, dengan ‘jatah’ hati yang lebih
besar dan seringkali menjadi alas an wanita yang lebih emosional bila
dibandingkan lelaki. Tapi ini toh bukan tanpa maksud, agar saling melengkapi.
Agar saling tolong-menolong, dan saling membutuhkan. Meski tak dapat dipungkiri
kadang kala kita juga menemui wanita yang ‘perkasa’, fisiknya kuat sebanding
dengan lelaki.
Kodrat wanita yang ‘dititipi’ rahim, maka wanita ditugasi
untuk hamil dan juga menyusui anaknya. Tapi ini juga bukan berarti wanita hanya
bisa di rumah saja. Ibu adalah sekolah yang pertama. Anak-anak mulai belajar
sejak di dalam kandungan, oleh sebab itu ibu hamil tidak boleh berkata
sembarangan, karena memang dapat didengar oleh jabang bayi di dalam kandungan. Rasanya
jadi realistis manakala Kartini memperjuangkan pendidikan bagi wanita, karena
dari ibu yang pandailah anak akan belajar lebih banyak pengetahuan. Maka para
wanita di seluruh dunia harus berpendidikan, wanita harus cerdas J.
Emansipasi dapat dimaknai sebagai hak wanita untuk dapat
membuat dan memiliki pilihan untuk menentukan nasib dan kehidupannya tanpa
melupakan kodratnya sebagai wanita, dan tentu saja selama berada dalam koridor
aturan agama serta norma adat yang berlaku.
Wanita ingin mengejar karir? Boleh, silahkan. Sejauh memang
diijinkan oleh orang tua atau suami jika sudah menikah, atau jika memang beliau
adalah tulang punggung keluarga atau kondisinya memang memaksa demikian. Wanita
boleh berkarya.
Wanita memutuskan jadi ibu rumah tangga? Boleh, silahkan.
Toh apa yang dilakukan itu untuk bisa mendidik anak-anak dan menjadi istri yang
baik. Lagi pula jaman sekarang berbisnis dari rumah pun bisa dilakukan para ibu
rumah tangga, meski butuh manajemen yang dasyat menurut pengalaman saya hehehe.
Jadi wahai wanita, apa pilihan anda hari ini? Apapun pilihan
anda, pastikan anda tahu konsekuensi dari setiap pilihan tersebut, jangan
sampai menyesal di akhir hari. Jangan jadi korban isu-isu emansipasi yang tak
anda pahami sepenuhnya, atau jadi korban ‘kodrat’ yang anda yakini. Jadilah
hebat dengan apapun pilihan anda, terus gali potensi anda. Karena dengan
pilihan menjadi ibu rumah tangga bukan alasan anda tak ‘berkembang’. Teruslah
bersinar wanita Indonesia…
Have a nice day….
Sumber :